Masyarakat Jawa dikenal sebagai masyarakat
yang religius. Perilaku masyarakat Jawa banyak dipengaruhi oleh alam
pikiran yang bersifat spiritual. Dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat
Jawa memiliki relasi istimewa dengan
alam. Dalam sejarah kehidupan dan alam pikiran masyarakat Jawa, alam di
sekitar masyarakat sangat berpengaruh dalam kehidupan sehari-hari. Salah
satu ciri lain masyarakat Jawa adalah bahwa mereka percaya terhadap
suatu ‘kekuatan’ di luar alam yang mengatasi mereka. Mereka kagum
terhadap kejadian-kejadian di sekitar mereka, terhadap fenomena-fenomena
alam sehari-hari yang kadang sulit dipahami dengan rasio. Rasa kagum
inilah yang melahirkan bermacam-macam ritual tradisi sebagai bentuk
penghormatan terhadap alam.
Ritual-ritual yang ada dalam
kebudayaan Jawa tersebut merupakan ritual yang menyangkut life cycle,
yaitu ritual yang berhubungan dengan perjalanan hidup manusia, atau yang
selalu menyertai kehidupan manusia. Kehidupan manusia yang selalu
diiringi dengan upacara atau ritual tersebut merupakan wujud dari
kehati-hatian manusia Jawa dalam mewujudkan keharmonisan hubungan
manusia dengan alam nyata yaitu dunia ini, serta keharmonisan dengan
alam mistik atau yang berkaitan dengan Tuhan Yang Maha Esa.
Melalui ritual-ritual tersebut manusia Jawa ingin mengetahui serta
menyatakan sesuatu hal yang berarti di balik kenyataan fisik, bahkan
sesuatu hal yang transeden. Namun manusia yang terbatas tidak mampu
mencapainya. Karena itulah manusia menggunakan symbol sebagai media
budaya (Jarwati, 2004 : 4). Itulah akar simbolisme dala budaya Jawa.
Termasuk juga ritual tradisi legenda gong senen. Dalam tradisi gong
senen ada simbolisme yang mengandung suatu makna. Ritual gong senen,
sebagaimana merupakan salah satu ritual yang ada dalam tradisi
masyarakat Jawa adalah definisi kata gong itu sendiri mempunyai makna
agung/besar. Dari simbol yang terdapat dalam perangkat gamelan,
sedangkan senen merupakan nama hari yaitu hari senin dan orang Jawa
lebih mudah menyebutnya dengan nama senen, nama senen juga diambil dari
nama desa Senenan. Disebut gong senen karena menurut cerita, yang mampu
untuk menabuh hanyalah Lurah/Masyarakat desa Senenan dan waktunyapun
khusus pada hari senen pagi dan sore.
Dalam pembahasan
mengenai gong senen ini, penulis memilih sudut pandang etika. Etika
disebut pula akhlak atau disebut pula moral. Apabila disebut “akhlak”
berasal dari bahasa Arab. Apabila disebut “moral” berarti adapt
bebiasaan. Istilah “moral” berasal dari bahasa Latin Mores. Mempelajari
etika bertujuan untuk mendapatkan konsep yang sama mengenai penilaian
baik dan buruk bagi semua manusia dalam ruang dan waktu tertentu. Etika
biasanya disebut ilmu pengetahuan normative sebab etika menetapkan
ukuran bagi perbuatan manusia dengan penggunaan norma tentang baik dan
buruk.
Termasuk tradisi menabuh gong dan selamatan yang
diadakan setahun sekali yang dilaksanakan setelah Sholat Idul Fitri
sambil mengiringi kehadiran para tamu yang berhalal bihalal.
Permasalahan mengenai proses penabuhan gong inilah yang apabila gong
tersebut tidak ditabuh/dibunyikan akan berakibat tidak baik dalam
kehidupan masyarakat diseluruh Jepara. (Dinas Pariwisata Kabupaten
Jepara).
Di dalam etika (ilmu kesusilaan) Mill menuju kepada
hubungan timbale-balik di antara individu (perorangan) dan masyarakat,
atas dasar utilitarisme. Ia berpangkal kepada pertimbangan-pertimbangan
psikologis. Maksud tujuan manusia ialah hal-hal yang membangkitkan
nafsu. Atau lebih tepat dikatakan, bahwa yang ingin dicapai orang bukan
bendanya sendiri, melainkan kebahagiaan yang ditimbulkan oleh
benda-benda atau sesuatu itu sendiri. Benda tertentu memang
membangkitkan pada manusia perasaan bahagia semacam itu sendirilah yang
berharga, dan bahwa harga atau nilai itu mewujudkan sifat benda tadi.
Tetapi sebenarnya tidaklah demikian. Anggapan itu disebabkan oleh
asosiasi atau hubungan yang satu dengan yang lain.
A. Sejarah Gong Senen
Sebagai tradisi dalam luasnya kebudayaan dan kepercayaan masyarakat
Jawa, tradisi spiritual yang paling umum diketahui di Indonesia sejak
lama adalah Jawa, jika dilihat melalui latar belakang sejarah Jawa
mempunyai begian sejarah tersendiri dalam mengisi sejarah panjang
Indonesia. Pada waktu Jepara diperintah oleh Kanjeng Adipati dalam abad
yang lalu, terjadi keajaiban dengan adanya seperangkat “GAMELAN” yang
datangnya tiba-tiba dan tidak diketahui dari mana asalnya. Kemudian
Kanjeng Adipati mencoba dan mengamankan dan membunyikan atau menabuh
“GAMELAN” tersebut tetapi tidak bisa berbunyi.
Ditradisikan di
Kabupaten Jepara bahwa setiap tanggal 28 (1 bulan sekali) seluruh lurah
dan tokoh masyarakat di seluruh wilayah Kabupaten Jepara mengadakan
pisowanan agung di Pendopo Kabupaten dengan membawa hasil bumi dari
daerah masing-masing sebagai tanda hormat dan tunduk pada Kanjeng
Adipati (asok glondong pangareng-ngareng). Kemudian pada saat itu oleh
Kanjeng Adipati Jepara disampaikan tentang adanya seperangkat gamelan
yang datangnya secara misterius itu pada semua hadirin pada waktu
mengadakan paseban/pertemuan yang pada pokoknya Kanjeng Adipati
menceritakan masalah gamelan yang tidak bisa dibunyikan oleh Kanjeng
Adipati, kemudian Kanjeng Adipati memberi kesempatan pada para lurah dan
tokoh masyarakat untuk menabuh atau membunyikan gong atau gamelan
tersebut satu per satu. Pada giliran Lurah Senenan gamelan tersebut bisa
berbunyi maka Kanjeng Adipati memberikan mandate pada Bapak Lurah
Senenan untuk memelihara dan membunyikan hingga sekarang.
Siapakah Masyarakat Senenan ?
Masyarakat Senenan adalah masyarakat yang tinggal di daerah kawasan
pantura (PANTAI UTARA) yang umumnya kebanyakan beragama muslim. Ada
catatan penting, yaitu kaum muslimin di Pantura (pantai utara) pulau
Jawa terlebih pada daerah Jepara yang nota bene orang-orang Muslim,
berlaku di sana “Bodo Kupat” (Hari Raya Ketupat). Hari itu yang pastinya
jatuh pada tanggal 8 Syawal. Sebab umumnya, kaum muslimin di daerah itu
tanggal 2 Syawal menjalankan ibadah puasa sunnah Syawal 6 hari
berturut-turut. Tanggal 8 Syawal adalah Hari Raya Ketupat “Hari Raya
Kecil”, sehingga yang dimasakpun sekedar ketupat, yang justru menjadi
unik, mereka ada yang membawanya bersenang-senang, misalnya rekreasi ke
pantai-pantai terdekat atau ke tempat pariwisata terdekat. Sedangkan
hari Raya “besar”nya ialah tanggal 1 Syawwal, yang mereka menghidangkan
menu special berupa opor ayam dengan nasi putih yang di antar ke
beberapa tetangga kanan kiri, orang tua, kakek maupun nenek.
Suatu bentuk masyarakat akan dan selalu mengalami perubahan dan
perkembangan tetapi perubahan tidak selalu proses perubahan menjadi
suatu proses yang berkembang bisa jadi tahapan perubahan ini yang justru
kebalikanya. Masyarakat Senenan Jepara awal pembentukanya tak lepas dan
tak terhindari dari proses perubahan, sebab manusia akan selalu
memperbaharui dirinya yang berimbas terhadap budaya yang sudah ada.
Kebaruan manusia juga menuntun kebaruan suatu kebudayaan. Masyarakat
mempunyai identitas yang membedakan dengan masyarakat lain. Identitas
ini dimaksud adalah ciri kebudayaan yang khusus dan melekat pada
masyarakat tersebut. Perubahan dan kebaharuan yang terjadi selama
rentang waktu tradisi masih dilaksanakan sampai saat ini dimana populasi
manusia semakin bertambah dan majunya pengetahuan membuat kebudayaan
dan zaman baru dan global yaitu modern yang secara halus mempengaruhi
perubahan masyarakat disetiap pelosok bumi.
Mengapa disebut gong senen ?
Karena menurut cerita, yang mampu untuk menabuh hanyalah Lurah atau
masyarakat desa Senenan dan waktunyapun khusus pada hari Senin pagi dan
sore hari. Maksud dan tujuan dibunyikan gong senen pada hari tersebut
adalah untuk keselamatan keluarga Kanjeng Adipati dan masyarakat seluruh
Kadipaten Jepara dan sekarang diberi nama “PRADONGGO BIROWO”.
Seperangkat gamelan tersebut terdiri dari :
- Gong Besar : 1 buah
- Kecrek / kecer : 2 buah
- Kendang : 2 buah
- Kempul : 2 buah
Gending atau lagu yang dinyanyikan sejak dahulu meliputi :
- Coro Balen
- Sendon Arang – arang
- Kethuk Tutul
- Kodok Ngorek
Adapun waktu untuk membunyikan gong waktunyapun khusus pada hari Senin
pagi dan sore hari yang bertempat di Panti Pradonggo Birowo di sebelah
selatan Pendopo Kabupaten Jepara.
Untuk perangkat gong senen selalu
diadakan selamatan setahun sekali yang dilaksanakan setelah Sholat Idul
Fitri. Sedangkan untuk proses selamatannya pun selamatan pada umunya
yang dilakukan oleh orang-orang Jawa pada umunya. Dengan sesajen dan
bakar kemenyan, maksud dan tujuan selamatan tersebut yakni untuk
keselamatan keluarga Kanjeng Adipati dan masyarakat seluruh Kadipaten
Jepara.
Ada kepercayaan sampai sekarang apabila gong senen
tersebut tidak ditabuh atau dibunyikan akan berakibat tidak baik dan
sudah banyak contoh kejadian tersebut antara lain :
1. Peristiwa
tragis pada tanggal 5 Mei 1995 di laut dekat Pantai Kartini dengan
memakan korban 5 (lima) orang pejabat Kabupaten Jepara.
2. Peristiwa angin rebut yang memporak pondakan Pendopo Kabupaten Jepara + 25 tahun yang lampau.
B. Etika
`Etika yang kita pahami secara umum adalah seperangkat aturan tak
tertulis yang disepakati bersama yang bertujuan agara manusia melakukan
hal-hal atau perbuatan yang dianggap baik, terkadang masyarakat
menyamakannya dengan norma. Etika berasal dari bahasa Yunani yaitu ethos
dalam bentuk jamak berarti adat kebiasaan yang nantinya didasari
pemaknaan etika yang dipakai oleh Aristoteles, kata etika mempunyai
relasi yang erat dengan kata moral yang berasal dari bahasa latin mores
(dalam bentuk jamak). Jadi etika secara etimologis berasal dari ethos
dari bahasa Yunani dan mores dari bahasa latin yang mempunyai makna sama
yaitu adat kebiasaan (K Bertens, 2004 : 4), secara kasar etika bisa
disamakan dengan moral.
Etika mempunyai pengaruh dalam
aktifitas maupun religius spiritual pada kehidupan manusia. Franz Magnis
Suseno mengartikan etika lebih halus lagi yaitu keseluruhan norma dan
penilaian yang dipengaruhi oleh masyarakat yang bersangkutan untuk
mengetahui bagaimana manusia seharusnya menjalankan kehidupan (Etika
Jawa, 2001 : 6).
Dalam legenda tradisi gong senen ada sebuah
mitos yang akhirnya menjadi pandangan hidup orang Jepara. Mitos dalam
ini adalah erat kaitanya dengan legenda, dongeng, serita rakyat dan
semuanya yang termasuk pada sebuah folklore. Mengenai mitos (C.A. Van
Peursen, 1992 : 37) adalah sebuah cerita (lisan) yang memberikan pedoman
dan arah tertentu kepada sekelompok orang. Inti dari mitos adalah
lambing-lambang yang menginformasikan pengalaman manusia purba tentang
kebaikan dan kejahatan, perkawinan dan kesuburan, serta dosa dan proses
katarsisnya. Di lain pihak, Wellek dan Austin Warren (1989) menyebutnya
sebagai sebuah cerita mengenai penjelasan tentang asal mula sesuatu,
nasib manusia, tingkah laku dan tujuan hidup manusia serta akan menjadi
alat pendidikan moral bagi masyarakat pendukung kebudayaan tersebut.
Mengacu kepada ketiga pendapat tentang etika dan mitos bisa ditarik
kesimpulan bahwa etika yaitu adat kebiasaan, secara kasar etika bisa
disamakan dengan moral. Dan mitos yang dikandung dalam legenda adalah
sumber pengetahuan mengenai kehidupan manusia pada masa lampau. Mitos
disusun dalam suatu bentuk cerita sastra lisan sebagai alat
transformasinya, sebab bentuk cerita lisan mempunyai polastruktur yang
cukup ajeng dalam menuntun ingatan orang sehingga akan mudah diceritakan
kembali.
C. Arti dan Makna Legenda Gong Senen
Di
dalam legenda gong senen ini banyak mengandung arti dan makna yang
mempunyai makna khusus pada masyarakat Senenan Jepara. Deskripsi makna
dari tradisi yang terkandung pada legenda gong senen sendiri lebih
mengacu pada subyek (gong) dan obyeknya (masyarakat Jepara). Gong
mengandung makna agung maupun besar, dan mengingatkan kepada Allah Maha
Besar. Sedangkan pada obyek masyarakat, bahwa mereka mempercayai bahwa
apabila gong senen tersebut tidak ditabuh atau dibunyikan akan berakibat
tidak baik bagi keselamatan masyarakat Jepara dan sudah ada beberapa
kejadian-kejadian yang menjadi bukti. Inti dari pemaknaan pelaksanaan
tradisi legenda gong senen yakni untruk mengingatkan manusia kepada
Tuhan Yang Maha Esa, yakni Allah S.W.T. inti dari maknanya agar
masyarakat selalu percaya dan beriman kepada Allah S.W.T.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar